logo loading

Green News

Rantai Pasokan Global Terancam Rugi US$25 Triliun Gegara Krisis Iklim

Kerugian ekonomi dari krisis iklim diperkirakan terjadi dalam 40 tahun mendatang.

 Kamis, 21 Maret 2024

Ilustrasi. Studi dari King's College London menyebut perubahan iklim berpotensi mengakibatkan stagnasi perekonomian di seluruh dunia dalam 40 tahun mendatang dengan total kerugian US$25 triliun. (PEXELS/Tom Fisk).


Mataram. Studi dari King's College London menyebut perubahan iklim berpotensi mengakibatkan stagnasi perekonomian di seluruh dunia dalam 40 tahun mendatang.

Tak tanggung-tanggung, total kerugian yang akan dialami warga dunia akibat dampak krisis iklim mencapai US$25 triliun dari terhambatnya rantai pasokan global.

"Timbulnya biaya akibat tekanan panas menunjukkan betapa luas dan beragamnya dampak melalui rantai pasokan global, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi pada suatu negara atau sektor yang mungkin tidak langsung terlihat,” tulis Daoping Wang dari King’s College London’s Department of Geography, School of Global Affairs, dilansir earth.com, Rabu (20/3).

Wang menguraikan bahwa negara yang menggantungkan perekonomiannya pada sektor manufaktur, seperti China dan Amerika Serikat, akan menanggung beban paling berat dari gangguan rantai pasok akibat krisis iklim.

Walaupun secara geografis negara-negara tersebut tidak terdampak langsung. Studi itu berdasarkan tiga skenario Shared Socioeconomic Pathways (SSPs). Seluruh skenario mendemonstrasikan dampak kerugian yang parah.

Diperkirakan pada 2066, total kerugian akibat krisis iklim mencapai 0,8% pendapatan domestik bruto (PDB) dunia. Tingkat kerugian ini akan meningkat secara eksponensial seiring dengan menghangatnya suhu bumi.

Pada skenario terburuk di mana suhu bumi menghangat hingga 7 derajat, tingkat kerugiannya dapat mencapai 3,9% dari PDB.

“Dampak ekonomi yang diproyeksikan ini sangat mengejutkan. Kerugian akan semakin buruk jika suhu bumi semakin memanas dan ketika kita memperhitungkan dampaknya terhadap rantai pasokan global, hal ini menunjukkan semua negara berada dalam risiko ekonomi,” kata Pemimpin Proyek Dabo Guan, Profesor Ekonomi Perubahan Iklim di Universitas Tsinghua di Beijing.

Tak hanya rantai pasok, krisis iklim tentu akan meluas ke berbagai sektor, termasuk pertanian dan kesehatan. Wang menganjurkan kolaborasi yang ketat dan sehat dari seluruh negara di dunia, termasuk AS, India dan China dalam mengendalikan krisis iklim.

“Hilangnya tekanan panas secara tidak langsung menyoroti perlunya negara-negara memperkuat kolaborasi di seluruh rantai pasokan global yang relevan. Misalnya, hasil penelitian kami menunjukkan dampak gelombang panas terhadap industri pertanian dan manufaktur makanan di India juga akan berdampak buruk terhadap industri manufaktur makanan AS," tutup Wang.


Wartawan : Fathia Nurul Haq

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar

Terpopuler