logo loading

Green News

Pendidikan Digital Bikin Sampah Elektronik Menumpuk, Rusak Lingkungan Loh!

Praktisi Ekapedagogi menilai potensi sampah ponsel pintar mencapai 5 miliar unit dari pandemi Covid-19 selama dua tahun.

 Jumat, 22 Maret 2024

Ilustrasi. Praktisi Ekapedagogi menilai potensi sampah ponsel pintar mencapai 5 miliar unit dari pandemi Covid-19 selama dua tahun. (PEXELS/Skitter).


Jakarta. Pendidikan digital yang melibatkan perangkat elektronik dan teknologi dinilai membawa dampak buruk bagi kondisi lingkungan. Praktisi Ekopedagogi (pendidikan lingkungan) Berto Sitompul menyebut baterai laptop dan ponsel pintar (smartphone).

“Baterai-baterai kita, laptop, ponsel pintar, baterai remote, bahkan baterai AC akan menjadi sampah elektronik,” ungkapnya dalam diskusi Peluang dan Tantangan Ekopedagogi Sekolah Alam dan Sekolah Adiwiyata, dilansir Antara, Rabu (20/3).

Lebih lanjut ia mengatakan saat pandemi Covid-19 melanda, jumlah penduduk bumi mencapai 13 miliar jiwa, dengan jumlah ponsel teregistrasi di pabrik sebanyak 7 miliar unit. Selama pandemi berlangsung dua tahun, ada potensi 5 miliar unit ponsel menjadi sampah.

“Kalau 5 miliar unit ponsel itu ditumpuk dan menjadi sampah, setara dengan keliling bumi. Tetapi, limbah elektronik belum menjadi perhatian di Indonesia,” jelasnya.

Padahal, satu baterai bisa mencemari lahan seluas 1 hektare (Ha) dengan kedalaman mencapai tujuh centimeter.

Berto menyayangkan informasi itu tidak pernah disampaikan kepada para murid di sekolah bahwa suatu hari nanti semua perangkat yang dibeli menjadi sampah. Seharusnya, murid di sekolah diajarkan bertanggungjawab terhadap lingkungan. “Kita selalu bicaranya sampah plastik,” imbuh dia.

Sementara, sampah plastik hanya berkisar 14 persen-18 persen, sedangkan sampah organik mencapai 60 persen. “Tiga persen sampah elektronik yang jumlahnya akan semakin meningkat,” tuturnya mengingatkan.

Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa, kata Berton, jumlah sampah elektronik di seluruh dunia tembus 57,4 metrik ton pada 2019. Jika ditangani secara business as usual, maka jumlahnya bisa meningkat jadi 74,7 metrik ton pada 2030.

Padahal, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah elektronik mengandung berbagai komponen bahan berbahaya dan beracun, seperti timbal, merkuri, cadminium, dan lain sebagainya.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik pun mengamanatkan sampah elektronik masuk dalam kategori sampah spesifik yang butuh pengelolaan khusus dikarenakan sifat, konsentrasi maupun volumenya.

Karenanya, Berto menegaskan, pengelolaan sampah spesifik harus dilakukan secara sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi kegiatan pengurangan dan penanganan.


Wartawan : Akshara Abraham

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar

Terpopuler