logo loading

Green News

PSEL: "Solusi" Sampah Mahal yang Malah Bikin Masalah Baru

Perpres 109/2025 Bukan Penyelesaian Jangka Panjang untuk Sampah

 Jumat, 31 Oktober 2025

Di balik janji "energi bersih", teknologi PSEL seperti ini dikhawatirkan pegiat lingkungan hanya akan mendorong produksi sampah dan membebani negara secara finansial dan lingkungan


JAKARTA. Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025. Aturan ini dibuat untuk mempercepat pembangunan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL), teknologi yang mengubah sampah kota menjadi listrik atau Energi Terbarukan (EBT). Pemerintah mengklaim ini adalah cara modern dan cepat mengatasi tumpukan sampah. Namun, suara-suara dari aktivis lingkungan justru lantang menolak, menyebut PSEL sebagai solusi instan yang mahal dan berbahaya.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan PSEL adalah komitmen serius. Namun, Perpres ini mewajibkan pemerintah daerah untuk menjamin pabrik PSEL mendapat pasokan sampah dalam jumlah besar setiap hari, tanpa putus. Kewajiban 'memberi makan' pabrik inilah yang menjadi sumber masalah utama.

Jaminan Adanya Sampah

Masalah utama PSEL, yang sebagian besar menggunakan teknologi pembakaran (insinerasi), adalah kebutuhan mereka akan sampah yang sangat banyak dan terus-menerus. Satu pabrik besar butuh minimal 1.000 ton sampah sehari agar bisa beroperasi dan untung.

Kepala Divisi Perencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Tubagus Soleh Ahmadi, menyebut kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Sampah yang seharusnya mendahulukan pengurangan sampah dari rumah tangga.

Coba bayangkan, kalau sebuah pabrik dikontrak 30 tahun untuk membakar sampah, pemerintah dan masyarakat jadi tidak punya semangat untuk mengurangi sampah. Justru kita akan didorong untuk terus memproduksi sampah agar kontrak PSEL terpenuhi. Ini seperti memelihara penyakit, bukan menyembuhkannya.

Menguras Uang Rakyat dan Merusak Udara

Kritik lain berfokus pada uang dan kesehatan. Proyek PSEL itu luar biasa mahal. Biaya pengolahan sampah (tipping fee) yang harus dibayar pemerintah daerah kepada pabrik bisa mencapai ratusan ribu rupiah per ton, semua diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Atha Rasyadi dari Greenpeace Indonesia menjelaskan, PSEL menguntungkan investor tetapi membebani keuangan negara. "Satu proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari bisa membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun," jelasnya. Dana sebanyak ini bisa menjerat daerah dalam jebakan utang jangka panjang, padahal seharusnya bisa dipakai untuk membangun fasilitas daur ulang di tingkat kelurahan.

Selain uang, ada bahaya kesehatan. Meskipun disebut "ramah lingkungan," pembakaran sampah tetap menghasilkan polusi udara, termasuk zat beracun mematikan seperti dioksin dan furan, yakni zat pemicu kanker. 

Ancaman Bagi Para Pemulung

Dampak sosialnya juga serius. Pabrik PSEL butuh sampah yang belum dipilah. Hal ini otomatis menghilangkan peran jutaan pemulung, pengepul, dan pelapak yang selama ini menjadi pahlawan tak terlihat dalam memilah sampah di Indonesia. Jika semua sampah langsung masuk PSEL, mata pencaharian mereka hilang, dan sistem daur ulang yang sudah berjalan di masyarakat akan lumpuh.

Sehingga, keberadaan Perpres 109/2025 ini layak ditinjau ulang, karena hanya menjadi 'cuci tangan' bagi perusahaan-perusahaan besar produsen kemasan plastik. Pemerintah sebaiknya fokus ke akar masalah yakni mengurangi sampah, memperkuat bank sampah, dan mewajibkan produsen bertanggung jawab atas limbah mereka. 


Wartawan : Sekaring Ratri

Penulis : Sekaring Ratri

Komentar