Green Opinion
Rojali dan Rohana: Cerminan Gerakan Mindful Consumption
Dari Stigma Negatif ke Praktik Konsumsi Bijak
Kamis, 21 Agustus 2025
Rojali & Rohana sering dicibir karena ‘jarang beli’ atau ‘hanya nanya’. Padahal, mereka bisa jadi pionir gerakan konsumsi bijak.
Beberapa waktu lalu jagat dunia maya diramaikan dengan istilah "rojali" (rombongan jarang beli), "rohana" (rombongan hanya nanya), "rocuta" (rombongan cuma lihat-lihat), "rocega” (rombongan cek Harga) dan istilah berawalan "ro" lainnya. Istilah ini digunakan untuk menyindir atau mengeluhkan pengunjung mal atau toko yang hanya datang untuk melihat-lihat, tanpa ada niat untuk bertransaksi.
Namun, di balik stigma negatif itu, ada sudut pandang lain yang menarik. Geng rojali dan rohana ini bisa menjadi cerminan perilaku konsumsi yang bijak atau dikenal dengan mindful consumption.
Alih-alih menjadi masalah, perilaku konsumsi ini justru bisa menjadi penyelamat bumi. Mereka menolak terjerumus dalam budaya konsumtif berlebihan yang selama ini mendominasi. Mereka adalah orang-orang yang mempertimbangkan setiap pembelian dengan matang, bisa saja karena tidak mampu. Tapi bisa juga karena mereka menyadari dampak dari setiap keputusan belanja.
Dikutip dari situs the conversation.com, pada prinsipnya konsep mindfulness atau situasi mental dengan kesadaran penuh adalah landasan Utama dari mindful consumption. Sehingga, praktik konsumsi berkesadaran ini adalah bentuk dari upaya berpikir secara sadar atas konsekuensi konsumsi yang kita lakukan. Hasilnya, kita tidak mudah terjerumus dalam budaya konsumtif yang kian massif.
Untuk memahami mengapa Rojali dan Rohana adalah pahlawan, kita perlu melihat realitas yang ada di sekitar kita. Dunia sudah didesain sedemikian rupa untuk membuat budaya konsumtif tumbuh subur.
Ada banyak faktor saling terkait sehingga budaya ini makin masif, baik dari sisi psikologis, sosial, maupun ekonomi. Diantaranya pengaruh bombardir iklan di media sosial yang diperkuat dengan kehadiran influencer dan tren-tren viral.
Selain itu, ini juga terkait tekanan sosial dan gengsi. Banyak orang membeli bukan karena butuh, tapi sekedar ingin diakui. Sehingga fenomena rasa takut ketinggalan atau yang kita kenal dengan Fear of Mission Out (FOMO) membuat konsumsi berlebihan dianggap wajar. Karena, barang konsumsi kerap dijadikan tolok ukur status sosial.
Lalu, karena kemudahan akses. Teknologi digital, e-commerce, dan layanan buy now pay later bikin belanja jadi sangat mudah. Dorongan impulsif untuk berbelanja pun kian besar karena kemudahan-kemudahan ini.
Terakhir, tidak lain dan tidak bukan adalah sistem kapitalisme dan pertumbuhan ekonomi modern, yang mendorong produksi dan konsumsi terus berputar tanpa henti. Semakin banyak orang membeli, semakin roda ekonomi berputar. Sistem ini mengabaikan dampak budaya konsumtif ini pada lingkungan.
Berdasarkan data Global Footprint Network, gaya hidup konsumtif menyebabkan jejak ekologis global melebihi kapasitas bumi untuk beregenerasi. Data tersebut menunjukkan bahwa manusia saat ini menggunakan sumber daya setara dengan 1,7 bumi setiap tahunnya. Peningkatan produksi dan konsumsi barang, mulai dari elektronik, pakaian, hingga makanan olahan, membutuhkan energi besar, yang sebagian besar masih berasal dari bahan bakar fosil. Dampaknya, emisi gas rumah kaca meningkat drastis.
Kemudian, data dari Plastic Atlas 2019 menunjukkan, industri plastik menghasilkan 359 juta ton plastik per tahun. Plastik ini digunakan untuk kemasan produk sekali pakai, yang merupakan ciri khas budaya konsumtif. Sekitar 60% dari semua plastik yang diproduksi sejak tahun 1950-an telah dibuang di TPA atau lingkungan, sehingga menyebabkan polusi tanah dan laut yang signifikan.
Sementara di industri fashion, dampaknya juga tidak kalah mencengangkan. Menurut laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP), industri ini menyumbang sekitar 10% dari emisi karbon global, lebih dari total emisi penerbangan internasional dan pelayaran maritim jika digabungkan. Angka ini menunjukkan betapa masifnya kontribusi budaya konsumtif terhadap krisis iklim.
Dalam situasi seperti ini, keberadaan kaum Rojali dan Rohana justru menawarkan perspektif berbeda. Pertumbuhan fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekonomi yang sedang melambat, baik secara global maupun lokal. Banyak masyarakat yang mengalami penurunan daya beli atau merasa tidak aman secara finansial. Akibatnya, alokasi pengeluaran menjadi lebih ketat dan prioritas kebutuhan primer semakin menguat.
Pertumbuhan fenomena Rojali dan Rohana tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekonomi yang sedang melambat. Banyak masyarakat yang mengalami penurunan daya beli atau merasa tidak aman secara finansial. Akibatnya, alokasi pengeluaran menjadi lebih ketat dan prioritas kebutuhan primer semakin menguat.
Dalam konteks ini, perilaku "jarang beli" bukan lagi sekadar pilihan gaya hidup, melainkan sebuah keharusan. Namun, justru dari keharusan inilah muncul sebuah kesadaran kolektif. Konsumen kini didorong untuk berpikir lebih jauh sebelum membeli. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apakah saya benar-benar membutuhkannya?" dan "Apakah barang ini akan bertahan lama?" menjadi pertimbangan utama.
Pergeseran ini melahirkan sebuah tren yang positif. Ketika daya beli melemah, konsumen mulai mencari alternatif yang lebih berkelanjutan. Mereka beralih ke produk berkualitas tinggi yang tahan lama, memilih barang bekas atau preloved, dan bahkan belajar memperbaiki pakaian mereka sendiri. Perilaku ini secara tidak langsung membantu mengurangi permintaan terhadap produk baru dan menekan laju produksi massal yang merusak lingkungan.
Di sinilah peran Rojali dan Rohana menjadi vital. Tindakan mereka untuk tidak membeli adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtif ini. Mereka mungkin saja sedang menerapkan filosofi "buy less, choose well, make it last" yang dipopulerkan oleh Vivienne Westwood. Mereka tidak lagi membeli berdasarkan emosi atau dorongan sesaat, melainkan berdasarkan kebutuhan yang riil.
Ketika seorang "Rojali" pulang dengan tangan kosong dari mal, ia secara tidak langsung berkontribusi pada pengurangan permintaan produk baru. Hal ini akan melambatkan roda produksi yang rakus sumber daya. Ketika seorang "Rohana" hanya bertanya dan membandingkan, ia mendorong terciptanya kesadaran bahwa konsumen memiliki kekuatan untuk memilih, bukan sekadar membeli.
Jadi, lain kali kita melihat "Rojali" atau "Rohana," alih-alih mencibir, cobalah melihat mereka sebagai pionir dari sebuah perubahan. Mereka adalah bisa menjadi bukti nyata bahwa tindakan kecil bisa memiliki dampak besar. Mereka mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak barang yang kita miliki, tetapi tentang seberapa lestari kita menjaga planet ini.
Wartawan : Sekaring Ratri
Penulis : Sekaring Ratri
Komentar