Green Opinion
Pemilu yang Tidak Berkelanjutan dan Mimpi Digitalisasi
Selasa, 06 Februari 2024
Pengadaan logistik baru saban pemilu yang potensial menghasilkan sampah, jelas tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan (sustainability). Foto: Pexels/Tara Winstead
Jelang hari pencoblosan minggu depan, distribusi logistik Pemilu 2024 semakin gencar dilakukan ke berbagai daerah. Logistik yang semuanya adalah pengadaan baru bernilai ratusan miliar rupiah tersebut, sekali pakai dan sebagian potensial berakhir sebagai sampah.
Sejauh ini, negara selalu membayar mahal untuk memfasilitasi proses demokrasi dalam bentuk pemilihan umum. Untuk Pemilu 2024, Kementerian Keuangan mengalokasikan bujet Rp 71,3 triliun atau naik 1,5 kali lipat dari anggaran Pemilu 2019 yang sebesar Rp 45,3 triliun.
Alokasi anggaran Pemilu 2024 untuk tahun ini terbesar yaitu mengambil bagian Rp 38,2 triliun. Sisa anggaran sudah teralokasikan sebesar Rp 3,1 triliun untuk tahun 2022 dan Rp 30 triliun tahun lalu.
Khusus untuk pemenuhan logistik, pemerintah sudah membelanjakan Rp 381 miliar. Patut diketahui jika semua logistik Pemilu 2024 adalah pengadaan baru.
Menurut laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pengadaan tahap I meliputi 4,08 juta kotak suara, 1,64 juta botol tinta, 3,28 juta bilik pemungutan suara, 78,38 juta segel dan 21,17 juta segel plastik. Lalu pengadaan logistik tahap II mencakup 1,21 miliar lembar surat suara, 61,16 juta lembar sampul, 8,14 juta set formulir, 1,64 juta alat bantu orang buta serta 820.161 lembar daftar pasangan calon dan daftar calon tetap.
Sementara jika mengacu pada PKPU Nomor 17 Tahun 2016, ada mekanisme pemusnahan dan penghapusan logistik setelah pemilu berlangsung. Logistik bisa dimusnahkan atau dihapuskan jika telah melewati ketentuan masa simpan, rusak atau tidak laku setelah dua kali coba dijual kembali.
Ketentuan surat suara bekas misalnya, baru dapat dimusnahkan oleh unit kearsipan satuan kerja di lingkungan KPU/KIP tingkat kabupaten atau kota setelah masa simpan selama sebulan usai pengucapan sumpah. Jadi untuk Pemilu 2024 nanti, sebanyak 1,21 miliar lembar surat suara pada akhirnya akan dihancurkan sebagai sampah.
Menurut perkiraan dari perusahaan wirausaha sosial 8 Billion Trees, rata-rata pohon pinus standar yang berukuran panjang 45 kaki dan diameter 8 inci menghasilkan 10.000 lembar kertas. Sederhananya, perusahaan yang menjalankan operasi penanaman pohon di Hutan Hujan Amazon itu memproyeksi satu rim kertas menggunakan 5% pohon.
Dengan mengabaikan ukuran, ketebalan dan jenis setiap lembar kertas, kebutuhan surat suara dalam Pemilu 2024 kurang lebih sekitar 2,42 juta rim. Kalau satu rim mencuil 5% bagian pohon berdasarkan rumus perkiraan 8 Billion Trees, berarti ada konsumsi sekitar 120.892 pohon pinus dalam pemilu tahun ini.
Pengadaan logistik baru saban pemilu yang potensial menghasilkan sampah, jelas tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan (sustainability). Belum lagi, proses pengadaan yang rawan penyalahgunaan.
Secara umum, biaya Pemilu 2024 hingga puluhan triliun rupiah terasa sayang jika hanya akan habis sekali pakai dalam satu hajatan. Saya berandai-andai, ke depan pemerintah tergerak untuk mulai mendigitalisasi sistem pemilu lewat electronic voting (e-voting) atau internet voting (i-voting).
Tentu saja, model e-voting atau i-voting memiliki risiko yang antara lain berasal dari ketidakmerataan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia dan potensi pembajakan data. Namun, bukankah sistem pemilu yang ada saat ini juga acap kali dituding rawan pemalsuan data?
Jadi kalaupun sama merogoh puluhan triliun rupiah, manfaat keberlanjutan akan lebih terasa jika anggaran digunakan untuk memperluas jangkauan internet ke seluruh pelosok negeri. Sebagai gambaran, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) hanya butuh Rp 280 miliar untuk memgembangkan sarana dan prasarana jaringan telekomunikasi di IKN.
Kalau pemilu digitalisasi, rasanya ke depan keluhan warga di lingkungan perumahan saya yang terpaksa golput karena domisili KTP berbeda dengan lokasi tempat pemungutan suara (TPS) terdekat, tidak akan terdengar lagi. "Saya KTP Trenggalek, kerjanya di Bekasi sedangkan rumah di Bogor," keluh tetangga saya.
Anastasia Lilin,
Chief Content & News Officer Media Hijau
Komentar