Green News
5 Merek Pencemar Saset di Indonesia: Unilever hingga Salim Group
Kelimanya menjadi donatur limbah kemasan atau saset terbesar di Indonesia.
Senin, 06 Mei 2024
Ilustrasi. Break Free From Plastik menemukan lima merek FMCG menjadi donatur limbah kemasan atau saset terbesar di Indonesia, yaitu Wings, Salim Group, Mayora Indah, Unilever, dan Santos Jaya Abadi. (Pexels/Lisa Fontios).
Mataram. Hasil audit yang dilakukan oleh jaringan masyarakat sipil Break Free From Plastic menemukan bahwa lima merek fast moving consumer goods (FMCG) menjadi donatur limbah kemasan alias saset terbesar di Indonesia.
Kelima brand tersebut, antara lain Wings (1251), Salim Group (672), Mayora Indah (629), Unilever (603), PT Santos Jaya Abadi (454).
“Tingkat keresahan kita terhadap sampah plastik, khususnya kemasan saset semakin mendalam dengan temuan audit merek saset. Ketika nama-nama produsen yang sama terus muncul kembali memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan,” ungkap Alaika Rahmatullah, Koordinator Audit Merek Ecoton dalam keterangan tertulis, Selasa (30/4).
"Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka. Penting untuk dijadikan sebagai evaluasi terkait temuan audit merek ini untuk mempertimbangkan langkah-langkah produsen yang lebih bertanggung jawab ke depannya. Terlebih, tidak lagi menggunakan kemasan saset," lanjutnya.
Audit dilakukan sejak Oktober 2023 hingga Februari 2024 secara serentak di empat negara, yakni Indonesia, Filipina, Vietnam, dan India. Total, terdapat 25 organisasi lingkungan di empat negara tersebut yang turut berpartisipasi mengaudit sampah pelastik di 50 titik.
Di Indonesia, kelompok relawan yang berpartisipasi, antara lain yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Walhi, Trash Hero Indonesia, dan YPBB.
Mereka menemukan wilayah paling rentan pencemaran plastik saset adalah kawasan Indonesia Timur lantaran banyaknya pulau-pulau kecil dengan layanan pengumpulan sampah yang terbatas.
“Jaringan relawan kami di Indonesia Timur, di daerah NTT dan Ambon, juga menemukan saset dalam kegiatan yang mereka lakukan,” ujar Rima Putri Agustina, Koordinator Trash Hero Indonesia.
Asia Tenggara menyumbang limbah saset hingga separuh dari pangsa global. Diprediksi 1,3 triliun saset akan terjual setiap tahunnya pada 2027. Karenanya, diperlukan langkah konkret yang fundamental untuk mengelola limbah saset.
Tanggung Jawab Korporasi
Berangkat dari kasus pencemaran saset di Indonesia Timur, para relawan berkesimpulan bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh kemasan saset tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah dan konsumen sepenuhnya.
"Jelas ini menjadi tanggung jawab produsen atas sampah dan secara khusus tentang saset yang tercantum dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen," terang para relawan.
Baca juga:
Sampah Puntung Rokok Nggak Bisa Dianggap Remeh Loh!
Aturan tersebut mewajibkan produsen, salah satunya manufaktur untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30%. Sayangnya, hingga saat ini baru 18 produsen yang melakukan pilot project dari 42 produsen yang telah mempunyai dokumen peta jalan.
“Dari 10 produsen pencemar terbanyak di Indonesia, hanya Unilever dan Danone melalui PT Tirta Investama yang mengirimkan dokumen peta jalan pengurangan sampahnya. Hingga saat ini tidak ada transparansi dan komitmen untuk mengurangi produksi plastik dan progress untuk mencapai pengurangan sebesar 30 % pada 2029. Kalau ini terus dilakukan oleh produsen, maka, krisis saset tidak akan berakhir”, kata Ibar Akbar, Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia.
Menurut Akbar, selain pengurangan produksi kemasan saset, perlu dibarengi langkah bertahap mendukung sistem daur ulang sebagai solusi mengatasi krisis saset. Saat ini, banyak bisnis sistem daur ulang yang mulai berjalan, di antaranya Kecipir, Alner, dan Hepicircle.
Terdapat pula regulasi yang mendukung sistem daur ulang yang tertuang pada peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 dan standar PR3 untuk menciptakan kerangka kerja bisnis guna ulang yang aman dan dapat diandalkan.
“Bisnis refill dan reuse yang dikembangkan masyarakat, adalah contoh bagaimana sistem yang sama dapat dikembangkan produsen. Tetapi bisnis refill masyarakat ini tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah sachet dari produsen besar, karena kondisi regulasi dan mekanisme perizinan di Indonesia tidak mendukung pengemasan ulang," tutur Fictor Ferdinand, Peneliti di YPBB.
"Oleh karena itu, kami memandang, pemerintah perlu lebih tegas meregulasi para produsen, sekaligus pada saat yang sama, menciptakan kondisi yang kondusif agar bisnis refill masyarakat ini bisa berkembang. Di sisi lain, para produsen perlu menjadi pionir untuk solusi yang sesungguhnya, yaitu refill dan reuse, tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus diolah oleh konsumennya”, tandasnya.
Wartawan : Fathia Nurul Haq
Penulis : Gungsri Adisri
Komentar