Green News
Proyek Pembangkit Nuklir dalam Draf Revisi Kebijakan Energi Disoal, Risiko HAM
Rabu, 31 Januari 2024
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih melihat, draf revisi KEN memasukkan sejumlah solusi palsu dan semu dalam strategi transisi energi. Foto: Pexels/Tim Mossholder
Jakarta. Pemerintah merevisi sejumlah target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada 2025. Salah satu usulan berupa pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW), dikhawatirkan mencederai hak asasi manusia (HAM).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih melihat, draf revisi KEN memasukkan sejumlah solusi palsu dan semu dalam strategi transisi energi. Sebut saja usulan pemanfaatan biodiesel berbasis sawit hingga menyentuh campuran 60% (B60), pemasangan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di seluruh pembangkit listrik berbasis fosil hingga pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 MW.
Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law, menuturkan revisi KEN seharusnya bisa memastikan target bauran energi nasional sejalan dengan target iklim yang aman. Oleh karena itu harus ada target untuk mengakhiri ketergantungan terhadap energi fosil dan mengutamakan pengembangan energi terbarukan.
Menurut Grita, memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak asasi manusia berupa risiko toksik serius dan sangat sulit dipulihkan. ”Hal ini membawa risiko terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan,” ujar Grita dalam keterangan tertulis kepada pers, Selasa (29/1).
Secara umum, draf revisi KEN 2025 justru mengusulkan penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17%-19%. Usulan anyar itu turun dari target semula 23%.
Alih-alih menurunkan target energi terbarukan, pemerintah seharusnya mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini. “Walau masih dalam draf RPP KEN, indikasi penurunan target dapat memberikan dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia,” tutur Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR).
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah mengevaluasi kegagalan. Sementara jika target benar-benar diturunkan, koalisi menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengajukan hak angket.
Menurut Arif Adiputro, Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC), revisi target bertentangan dengan netral karbon 2060 dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca 29%-31%. Untuk mencapai kedua target itu, Indonesia seharusnya justru meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45% pada 2030.
Risiko lain dari penurunan target energi terbarukan yakni berkurangnya potensi pekerjaan hijau green jobs. Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia, memperkirakan prospek ketersediaan lapangan kerja bidang teknik energi terbarukan dapat mencapai 432.000 pada tahun 2030 jika pemerintah konsisten dengan target awal sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada 2050.
Komentar