Green News
Pahami Participatory Backcasting dalam Kebijakan Transisi Energi
Backcasting partisipatif mengukur kemampuan transisi energi dan net zero emissions (NZE).
Jumat, 26 April 2024
Ilustrasi. BRIN bersama peneliti dari Delft University of Technology berbagi pengetahuan mengenai participaroty backcasting untuk mengukur kemampuan transisi energi dan NZE. (Pixabay).
Denpasar. Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, Kesejahteraan Masyarakat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Eko Nugroho menilai transisi energi amat menantang dan problematik dari sisi geografi, ekonomi, serta kebijakan. Tak terkecuali, sisi sosial.
Masyarakat umumnya belum begitu familiar dengan istilah transisi energi menuju Zero Emission (ZE) atau nol emisi. Apalagi, Indonesia pun masih bergantung pada produksi energi berbasis bahan bakar fosil, yang juga masih menjadi persoalan tersendiri.
"Teknologi juga masih menjadi problematika. Kami harus mengejarnya dan mengadopsi teknologi energi baru terbarukan," ujarnya dalam kegiatan Lecture Series bertajuk Energy Transition Towards ZE di Gedung B.J Habibie, Jakarta, dilansir brin.go.id, Selasa (23/4).
Indonesia, lanjut Agus, termasuk dalam tujuh negara penghasil emisi terbesar di dunia yang juga merupkan produsen dan eksportir utama komoditi batu bara. Namun, Indonesia memperkuat komitmennya menurunkan emisi pada 2022 dengan menyatakan target NZE.
Pembicara dari Delft University of Technology (TU Delft) Jaco Quist berbagi pengetahuan mengenai analisis participatory backcasting untuk transisi ekonomi berbasis batu bara ke energi terbarukan.
TU Delft bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) melaksanakan penelitian bersama pada studi kasus di Kalimantan Selatan, selaku provinsi dengan sumber batu bara besar. Diketahui, sebanyak 18% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalsel berasal dari batu bara.
Melalui penelitiannya, Quist dan tim melihat potensi energi terbarukan di Kalsel. "Dan kami mengetahui bahwa potensi energi baru terbarukan cukup memenuhi, yang terbesar adalah energi surya (53.170 MWp) dan potensi energi angin (8.455 MW)," tutur Quist.
Dengan pendekatan participatory backcasting, Quist dan tim menilai transisi energi menuju NZE di Kalsel memungkinkan untuk dilakukan walaupun cukup kompleks dan sulit. "Mengapa sulit? Karena beberapa hal, di antaranya perubahan besar yang mencakup semua sub sektor energi dan berskala besar, tidak hanya electricity," terang dia.
Oleh karenanya, lanjut Quist, perlu melibatkan multi actor dengan berbagai persoalan dan terdapat kompleksitas yang besar, yang berpengaruh pada nilai-nilai normatif dan isu ekonomi. "Juga tantangan pada sektor pemerintahan," jelasnya.
Backcasting partisipatif, sambung dia, praktik yang berkembang dalam transisi energi dan NZE. Pendekatan ini menetapkan target masa depan berkelanjutan yang diinginkan, sekaligus merencanakan langkah awal bagaimana bergerak untuk mencapai masa depan itu.
Tiga elemen penting dari analisis backcasting, yaitu visi yang ingin dicapai, stakeholders, dan proses belajar. "Menyusun visi bersama para stakeholders, belajar satu sama lain, kita akan mendapatkan content results, process results, dan hasil berupa dampak," kata Quist.
Wartawan : Gungsri Adisri
Penulis : Gungsri Adisri
Komentar