logo loading

Green News

Mau Pangkas Emisi Karbon 20%? Ekonomi Harus Rela Buntung 2%

Penelitian menilai tidak perlu memaksa perusahaan penghasil emisi tertinggi menutup bisnisnya.

 Sabtu, 20 April 2024

Ilustrasi. Studi mengungkap untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 20%, perlu kerugian ekonomi sekitar 2%. (PEXELS/Karolina Grabowska).


Denpasar. Para ilmuwan memperingatkan dampak buruk perubahan iklim jika manusia tidak segera bertindak. Namun, mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) juga berarti harus rela mentransformasi perekonomian dunia dan hal ini tidak terdengar sepele.

Lalu, apakah artinya kerugian ekonomi? keruntuhan bisnis? Tunggu dulu. Tidak harus seperti itu kok. Studi terbaru menunjukkan kita bisa mengurangi emisi karbon, secara signifikan dengan dampak minimal terhadap perekonomian.

Studi dari Complexity Science Hub mengungkapkan tidak perlu menutup perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi karbon paling banyak. Sebab, faktanya, tidak sesederhana itu. Menutup paksa perusahaan-perusahaan tersebut, justru hanya mendorong reaksi berantai.

Menurut studi, menutup tujuh perusahaan penghasil polusi terbesar di Hungaria saja hanya akan berdampak pada hilangnya 29% pekerjaan. Hal itu berarti banyak orang akan kehilangan mata pencarian dan tidak mampu menghidupi diri dan keluarganya.

Imbasnya, output perekonomian Hungaria (nilai total barang dan jasa yang diproduksi) anjlok sebesar 32%. Ujung-ujungnya, hanya menimbulkan kesulitan dan keresahan sosial, jauh dari harapan memberi manfaat lingkungan dari pengurangan emisi karbon dioksida.

Oleh karenanya, penulis studi, seperti dilansir the earth.com, Kamis (18/4), menganggap fokus pada perusahaan penghasil emisi karbon adalah tindakan picik. Untuk memahami dampak sebenarnya dari kebijakan iklim, perlu ada kajian bagaimana masing-masing bisnis masuk dalam jaringan perekonomian.

Sebab, setiap perusahaan memiliki tingkat risiko sistemik yang menyertainya. Hal ini juga yang mengukur seberapa dalam perusahaan tertanam dalam jaringan rantai pasokan. Para peneliti di Complexity Science Hub menjawab dengan membuat Indeks Risiko Sistemik Ekonomi (ESRI) untuk mensimulasikan dampak penutupan perusahaan.

Lalu, bagaimana mengurangi emisi tanpa mengorbankan lapangan kerja dan ekonomi? Para peneliti mengembangkan pendekatan strategis untuk mengidentifikasi perusahaan yang melakukan upaya pengurangan emisi. Sistem ini menggunakan pemeringkatan yang lebih dari sekadar menargetkan penghasil emisi tertinggi.

Pemeringkatan itu mempertimbangkan dua faktor. Pertama, emisi CO2 satu perusahaan. Kedua, peran perusahaan dalam rantai pasokan. Kemudian, perusahaan diberi peringkat berdasarkan skor gabungan dua faktor tersebut di atas.

Perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi, namun dampaknya relatif rendah terhadap rantai pasok, maka akan diprioritaskan untuk transformasi. Intinya, sistem ini membantu menargetkan perusahaan-perusahaan yang menimbulkan polusi dan sedikit gangguan terhadap arus perekonomian.

Dengan pendekatan ini, strategi yang digunakan diyakini bisa lebih seimbang dan efektif. Sehingga, bisa mengurangi emisi karbon secara signifikan sambil meminimalkan dampak negatif terhadap lapangan kerja dan output perekonomian.

"Hasilnya, pengurangan emisi CO2 sebesar 20% mengharuskan 23 perusahaan teratas dalam daftar (studi) tersebut menghentikan operasinya. Hal itu hanya mengakibatkan hilangnya 2% lapangan kerja dan 2% output perekonomian," kata Johannes Stangl, mewakili Complexity Science Hub.

Namun, ia mengingatkan hal itu tidak berarti setiap perusahaan akan melakukan transisi ramah lingkungan. Tentu, akan ada gangguan dan perlu lapangan kerja baru yang ramah lingkungan yang diciptakan sebagai penggantinya. Namun, Stangl percaya bahwa ini lah tantangannya.

Stefan Thurner, salah satu Penulis Studi, menambahkan penelitian ini bergantung pada data yang sangat rinci dan data tidak tersedia di beberapa negara.

"Ini menempatkan kami pada posisi yang menyulitkan. Jika data lebih rinci, informasi luas tersedia pada jaringan pasokan negara tersebut," jelasnya.

Yang pasti, penelitian ini bisa menjadi seruan. Menurut dia, sudah waktunya pemerintah dan dunia usaha mengumpulkan data yang lebih baik. Tujuannya, untuk merancang kebijakan iklim yang efektif dan meminimalkan dampak buruk.

Informasi yang dimaksud, antara lain mengenai rantai pasokan, jejak karbon, dan potensi dampak penutupan yang tersedia untuk analisis.

Sebab, Thurner mengingatkan transisi ramah lingkungan bukan hanya soal mengurangi emisi karbon, tapi juga menghemat kerugian ekonomi.


Wartawan : Gungsri Adisri

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar