logo loading

Green Lifestyle

Gelisah Iklim Berubah? Hati-hati Kena Eco Anxiety!

Eco anxiety dialami generasi muda yang terkena mental akibat perubahan iklim

 Senin, 26 Agustus 2024

Ilustrasi. Eco anxiety dialami generasi muda akibat perubahan iklim (dok. Jiwa Garden)


Bali. Dear Gen Z, kalau belakangan ini kamu merasa gelisah berlebih terhadap cuaca ekstrem, bencana alam, penggundulan hutan, atau masalah alam lainnya, bisa jadi kamu sedang mengidap eco anxiety atau kecemasan lingkungan. 

Istilah eco anxiety mulai ramai terdengar di tengah keresahan masyarakat terhadap lingkungan dan perubahan iklim, terutama para generasi muda. Rasa cemas ini memunculkan perasaan tidak berdaya dan putus asa menghadapi masa depan. Jika terus dibiarkan, kondisi ini bisa berdampak buruk lho buat kesehatan mental kamu. 

Alih-alih overthinking memikirkan hal yang belum terjadi, mari fokus pada solusi. 

Salah satu langkah kecil yang bisa kamu lakukan sebagai upaya ecotherapy adalah bergabung dalam komunitas bersama sekelompok orang yang merasakan kegelisahan sama. Seperti yang gencar dilakukan sejumlah anak muda di Canggu, Bali. Melalui komunitas bernama Jiwa Garden, anak-anak muda ini rutin menggelar ecotherapy bareng setiap akhir pekan, mulai dari berkebun, memangkas pohon, menanam dan memanen sayuran, hingga membuat kompos.

Founder Komunitas Jiwa Garden, Djuca Terenzi, menjelaskan sebelum disulap jadi ladang berkebun, lahan seluas 40 are itu merupakan tempat pembuangan sampah ilegal.

“Ya TPA ilegal, kan biasa kalau ada lahan nggak kepakai banyak orang buang sampah, perlu 3 bulan untuk kita bersihkan waktu itu. Tanahnya juga lumayan kacau, jadi kita mulai dengan mengubah struktur tanah dengan bahan organik,” terang Djuca saat ditemui di sela kegiatan Gardening Session, Sabtu (24/8/2024).

Hingga saat ini, Komunitas Jiwa Garden aktif mengelola 20 ton sampah organik per bulan untuk dijadikan kompos. Hasil kompos tersebut dimanfaatkan untuk lahan pertanian mereka dan masyarakat setempat. Selain generasi muda, mereka juga mengajak warga sekitar untuk ikut sukarela dalam proses bertani dan pengelolaan kompos.

Djuca meyakini bahwa kontak langsung secara rutin dengan tanaman, hewan, dan lingkungan akan memicu rasa bahagia sehingga mampu mengurangi gejala depresi dan gangguan kecemasan.

“Banyak orang pertama kali berkebun shock, pernah sampai ada yang menangis karena mereka lahir besar di kota belum pernah rasa bekerjasama dengan alam. Mereka pikir alam itu di luar kita padahal kita tanpa alam, tanpa oksigen, tanpa air bersih tidak bisa dipisahkan. Penting belajar pola alam karena bisa menurunkan anxiety,” tambah Djuca. 

Fenomena eco anxiety turut dirasakan Cynthia Tanidi, salah seorang gen Z yang kali pertama menjajal ecotherapy. Wanita 25 tahun ini merasa bumi tempatnya tinggal tak lagi sehat.

“Pasti cemas, buminya udah rusak ke depannya akan panas terus, pasti akan ngerasa nggak nyaman gimana kita bisa survive. Yang bisa kita lakukan paling simpel jangan buang sampah sembarangan, mulai pilah sampah, dan lebih banyak jalan kaki apalagi di Bali ruang terbuka banyak banget harus dimanfaatin,” jelas Cynthia.

Melansir situs Yankes Kemenkes, American Psychiatric Association (APA) pada 2017 mendefinisikan Eco Anxiety sebagai ketakutan kronis akan malapetaka lingkungan. Gangguan ini sama buruknya dengan jenis kecemasan lain karena dapat memicu sensasi fisik dan emosional yang sama. Beberapa gejalanya antara lain depresi, stres, hingga perubahan suasana hati.


Wartawan : Deba Melisa Depari

Penulis : Deba Melisa Depari

Komentar


kamu setuju pejabat pakai jet pribadi?

1-30 September