logo loading

Green News

Ekonom: Butuh Ratusan Miliar Dolar AS untuk Cegah Bencana Krisis Iklim

Pemerintah negara-negara kaya harus memberi bantuan luar negeri kepada negara miskin.

 Rabu, 24 April 2024

Ilustrasi. Ekonom menyebut pemerintah negara-negara kaya perlu mengguyur ratusan miliar dolar AS untuk membantu negara miskin mencegah bencana akibat krisis iklim. (PEXELS/Markus Spiske).


Denpasar. Pemerintah negara-negara kaya dinilai perlu mengguyur ratusan miliar dolar AS untuk mencegah dampak terburuk dari krisis iklim. Dana itu dapat disalurkan melalui Bank Dunia sebagai bantuan luar negeri kepada negara-negara miskin.

Dana Asosiasi Pembangunan Internasional, kepanjangan tangan Bank Dunia, dalam menyalurkan pinjaman dan hibah kepada negara-negara miskin tercatat sebesar US$ 93 miliar. Namun, angka tersebut perlu ditingkatkan tiga kali lipat pada 2030 mendatang.

Diperkirakan, pemerintah negara-negara kaya akan membahas janji bantuan baru itu pada pekan ini dalam pertemuan musim semi tahunan Bank Dunia di Washington DC.

Bank Dunia dan kawan-kawan (dkk), termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), diyakini akan berada di bawah tekanan untuk menunjukkan bahwa mereka bisa memimpin menuju transisi rendah karbon.

Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengatakan bahwa krisis iklim akan menjadi bahasan prioritas. "Dunia menghadapi tantangan yang saling terkait, yaitu krisis iklim, utang, kerawanan pangan, dan kerapuhan," ujarnya dilansir the Guardian, Kamis (18/4).

Tidak hanya itu, lanjut dia, dunia juga dihadapkan dengan kebutuhan untuk mempercepat akses terhadap udara, air, dan energi bersih. "Bank Dunia perlu visi dan misi yang sesuai dengan tujuannya, yaitu menciptakan dunia yang bebas dari kemiskinan dan menjadi planet layak huni," imbuh Banga.

Penelitian yang dilakukan oleh Ekonom Nicholas Stern dan Vera Songwe menyebut bahwa dibutuhkan sekitar US$2,4 triliun per tahun pada 2030 untuk mengalihkan negara-negara berkembang, kecuali China, ke perekonomian rendah emisi karbon.

Sekitar US$ 1,4 triliun di antaranya diharapkan berasal dari investasi negara-negara berkembang. Sedang sisanya dari bantuan negara-negara kaya dan investasi sektor swasta. Mengingat besarnya skala transformasi, Pejabat Tinggi PBB yang menangani krisis iklim Simon Stiell menilai lompatan kuantum pendanaan iklim Bank Dunia cukup.

Profesor Kebijakan Iklim di Blavatnik School of Government Oxford University Rachel Kyte mempertanyakan apa yang akan dilakukan Bank Dunia bersama IMF untuk fokus pada penghapusan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap.

"Termasuk upayanya dalam penetapan harga karbon secara efektif dan memperluas pasar karbon?" tanya Kyte mengenai kesediaan Bank Dunia dan IMF untuk reformasi.

"Apakah Banga membawa timnya bersamanya? Peminjam dan mitra tidak yakin bahwa semua orang setuju secara internal. Ini berpacu dengan waktu, reformasi yang dilakukan Banga versus persepsi yang masih tersebar luas bahwa biaya transaksi untuk berurusan dengan bank masih terlalu tinggi," lanjut Kyte.

Apalagi, beban utang negara-negara berkembang masih menjadi hambatan signifikan.

Todd Stern, eks utusan iklim pemerintahan era presiden Barrack Obama mengingatkan hal tersebut.

"Krisis utang yang menimpa banyak negara berkembang berpendapatan rendah, dan bahkan menengah perlu ditangani dengan semangat dan tekad, termasuk keterlibatan aktif IMF dan kemauan China," jelasnya.


Wartawan : Gungsri Adisri

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar