logo loading

Green Opinion

Duh Buaya, Riwayatmu Nanti!

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi mencatat habitat buaya terancam karena kerusakan lingkungan. Spesiesnya pun terancam karena 80 persen buaya mati setelah berkonflik dengan manusia.

 Senin, 18 Maret 2024

Ilustrasi. Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi mencatat habitat buaya terancam karena kerusakan lingkungan. Spesiesnya pun terancam karena 80 persen buaya mati setelah berkonflik dengan manusia. (PEXELS/Kelly).


Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi menyebut habitat buaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) semakin terancam sebagai dampak kerusakan lingkungan di hulu dan hilir sungai, termasuk hutan bakau. Kerusakan lingkungan ini didominasi oleh aktivitas penambangan bijih timah ilegal.

“Saat ini, sungai-sungai mengalami pendangkalan dan hutan mangrove semakin rusak, sehingga buaya semakin terdesak,” ujar Ketua PPS Alobi Langka Sani di Pangkalpinang, dilansir Antara, akhir pekan lalu.

Bayangkan, sungai-sungai yang dulunya memiliki kedalaman 5 meter, kini tersisa 5 sentimeter (cm) saja. Satwa liar ini makin kesulitan mencari makan untuk bertahan hidup.

Jangan heran, sempat ramai diberitakan buaya masuk ke pemukiman dan menyerang masyarakat yang beraktivitas di sungai. Walhasil, konflik buaya vs warga kerap terjadi beberapa waktu belakangan.

Di antaranya, buaya menyerang nelayan yang sedang menangkap ikan di Sungai Payung. Dua hari kemudian, buaya menyerang seorang anak perempuan di Sungai Selan. Lalu, buaya berulah di Pantai Toboali dan Sungai Bangka Selatan. Sepekan kemudian, siswa SMP meninggal dunia diserang buaya di Sungai Menduk.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Selatan mencatat ada 127 kasus konflik buaya vs manusia di Babel dalam lima tahun terakhir. Polhut Ahli Madya BKSDA Sumsel M Andriansyah menuturkan angkanya meningkat. “Konflik ini telah menimbulkan masalah serius,” terang dia.

Tim Garda Animilia Universitas Muhammadiyah Babel Bayu Nanda punya data berbeda. Ia mencatat ada 154 kasus konflik buaya vs manusia. Itu pun belum semuanya terdata, mengingat banyak keluarga korban yang tidak mau terekspos ke publik.

Intinya, semua pihak dirugikan dalam konflik satwa liar dengan manusia. Dalam hal ini, 80 persen buaya yang berkonflik mati. Mereka berhasil ditangkap oleh warga dan mati. Buaya dipancing dan mati dalam pancingan yang ditaruh di mulut buaya tersebut.

Walaupun buaya tidak mati di pancingan, mereka yang berhasil digiring ke kolam rehabilitasi di kampung reklamasi milik BUMN tambang kerap saling serang dengan buaya lainnya dan memangsa spesies mereka sendiri. Saat ini saja, buaya yang direhabilitasi berkurang, karena buaya besar memangsa dan memakan buaya kecil.

Bagi warga, kerugian bukan cuma properti yang rusak, tetapi juga nyawa manusia yang hilang. Catatan Tim Garda Animilia mengungkap 40 serangan buaya mengakibatkan korban jiwa tersebar di sejumlah kabupaten, Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Belitung, Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang.

Bertindaklah!

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Babel, kerusakan lingkungan dan hutan mangrove, serta sungai seluas 197.065 hektare (Ha) menjadi pemicu konflik antara buaya dan manusia.

“Kerusakan lingkungan, khususnya tempat habitat buaya di Babel cukup tinggi, karena penambangan bijih timah ilegal,” imbuh Kepala DLHK Babel Fery Afriyanto.

Saat ini, Pemprov Babel telah membentuk satgas penanganan konflik buaya vs warga. Satgas yang dibentuk ini akan menangani konflik satwa liar. Sementara Pemprov Babel sendiri bersinergi dengan Polda, Korem, dunia usaha, dan instansi terkait menanam pohon di lahan-lahan kritis.

Namun, dua hari setelah penanaman pohon di kawasan Hutan Lindung di Lintas Timur Bangka tersebut, para penambang bijih timah ilegal sudah kembali menambang di sana. Mesin-mesin tambang sudah beroperasi. “Dan inilah kondisi sekarang di Babel,” tandas Fery.


Wartawan : Gungsri Adisri

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar

Terpopuler