Green Lifestyle
Copenhagen Fashion Week Dipuji, Larang Peragaan Busana Kulit dan Bulu
Aktivis pembela hak hewan berharap langkah tersebut diikuti pekan mode lainnya.
Kamis, 04 April 2024
Ilustrasi. Copenhagen Fashion Week menuai pujian setelah melarang menampilkan kulit dan bulu binatang dalam peragaan busana. (PEXELS/Yogendra Singh).
Denpasar. Copenhagen Fashion Week menuai pujian setelah melarang menampilkan kulit dan bulu binatang dalam peragaan busana. Pekan mode tersebut menjadi acara industri fesyen terbesar yang melarang penggunaan kulit dan bulu untuk meningkatkan standar hak-hak hewan.
Lalu, apakah penyelenggara pekan mode lainnya akan menyusul?
“Sekarang semua mata tertuju pada penyelenggara pekan mode lainnya. Yang lain, tentu harus mengikuti jejak Pekan Mode Kopenhargen,” ujar Wakil Presiden Proyek Perusahaan People for the Ethical Treatment of Animals (Peta) Yvonne Taylor, dilansir the Guardian, Senin (1/4).
Venetia La Manna, pegiat fesyen, setuju dengan ide tersebut. “Ini membuktikan kepada saya bahwa organisasi-organisasi ini, seperti pekan mode, merek-merek potensial, bisa mengambil langkah besar jika didorong,” katanya.
Ia menyebut pekan mode yang lebih kecil, seperti Stockholm dan Melbourne Fashion Week, sudah mengikuti langkah serupa. Begitu pula dengan merek ternama Burberry dan Chanel yang memakan waktu cukup lama untuk meninggalkan penggunaan kulit eksotik, seperti ular dan buaya, hingga burung unta.
Panggung pekan mode di New York, London, Paris, dan Milan pada awal tahun ini juga menjadi rumah bagi banyak bulu. Bulu-bulu melimpah di karpet merah, meski belum ada lonjakan nyata dalam penggunaan kulit binatang eksotik. Tahun lalu, cuma tas Millionaire Speedy yang menyita perhatian yang terbuat dari kulit buaya.
Gerakan melawan bulu muncul setelah kerja keras para aktivis pembela hak-hak hewan selama bertahun-tahun. Kini, bulu telah dilarang oleh sebagian besar merek besar dan mewah.
Emma Håkansson, Direktur Pendiri Collective Fashion Justice, menilai meskipun industri fesyen memutuskan melarang bulu dalam peragaan busana, namun belum banyak yang paham kekejaman yang terjadi dalam rantai pasokan bulu.
“Ada kurangnya pendidikan. Konsumen arus utama menganggap tidak ada kekejaman yang terjadi pada pengadaan bulu tersebut,” jelasnya.
Wartawan : Gungsri Adisri
Penulis : Gungsri Adisri
Komentar