logo loading

Green Culture

Butuh Lebih dari Geoengineering Untuk Atasi Krisis Akibat Perubahan Iklim

Menurut pemerhati iklim perlu tindakan yang lebih tegas tak cuma berupa geoengineering untuk meneken dampak negatif perubahan iklim.

 Selasa, 19 Desember 2023

Kolumnis mempertanyakan urgensi penerapan geoengineering untuk mengatasi krisis iklim yang kian nyata. Foto: Pexels/Markus Spiske.


Denpasar. Dampak negatif perubahan iklim semakin nyata dan mencapai titik kritisnya. Setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP28 di Dubai belum lama ini, pemerhati iklim menyebut perlu tindakan yang lebih tegas tak cuma berupa geoengineering untuk menekan emisi dan mendinginkan bumi.

Nils Rokke, pemerhati iklim yang kerap menulis isu transisi energi global dan nol emisi, lewat sebuah kolom di Forbes mengatakan dunia sedang menuju tahun terpanas yang pernah tercatat. Bahkan, ia menilai 12 bulan terakhir merupakan tahun terpanas dalam 125.000 tahun.

Angka-angka yang mengindikasikan terjadinya perubahan iklim tersebut, memang mengejutkan. Bahkan, melampaui prediksi banyak ilmuwan di dunia termasuk IPCC, yang menunjukkan bahwa planet bumi memanas lebih cepat yang diperkirakan.

Tren perubahan iklim menurut Rokke, mengkhawatirkan dan menimbulkan pertanyaan penting. “Meskipun kontroversial, apakah geoengineering merupakan solusi yang kita perlukan?” ujarnya, mengutip Forbes, Selasa (19/12).

Geoengineering atau perekayaan kebumian adalah konsep memanipulasi iklim bumi guna melawan efek pemanasan global. Sebagian berpendapat geoengineering ialah pengecoh yang berbahaya. Mengingat, geoengineering melibatkan intervensi skala besar dalam sistem iklim bumi.

Kenyataannya, bisa dikatakan bahwa eksperimen geoengineering terbesar telah dilakukan dengan memompa miliaran ton gas rumah kaca ke atmosfer serta melihat dampak yang luar biasa. Sementara, dunia sedang memanas dengan cepat.

Meskipun, dapat memberikan respon yang cepat terhadap kenaikan suhu, Rokke mengingatkan metode geoengineering  ini bukan tanpa kelemahan.

“Misalnya saja, pola cuaca dapat berubah hingga mencapai titik yang merugikan satu atau beberapa negara. Banyak permasalahan yang menghalangi, namun geoengineering masih merupakan alat yang tidak boleh diabaikan,” katanya.

Bagi Rokke, geoengineering bisa saja dilihat sebagai pelengkap. Bukan pengganti pengurangan emisi gas rumah kaca dan transisi menuju energi ramah lingkungan.

Sebab, meski intervensinya dapat berjalan cepat dan hemat biaya, faktanya tidak mengatasi akar permasalahannya, yaitu tingginya konsentrasi CO2 atmosfer. Ini juga berarti menimbulkan kekhawatiran baru, seperti meningkatnya pengasaman lautan.

Perdebatan geoengineering ini, sambung Rokke, mengingatkan pada diskusi awal mengenai adaptasi iklim. Banyak yang berpendapat bahwa lebih baik mengatasi akar penyebab perubahan iklim ketimbang mengatasi gejalanya.

“Namun, seiring dengan intensifnya krisis iklim, langkah-langkah adaptasi menjadi bagian penting dari kebijakan pemerintah di seluruh dunia,” terang dia.

Karenanya, geoengineering tidak boleh mengurangi upaya mengurangi emisi dan menghilangkan gas rumah kaca. Sebaliknya, geoengineering justru bisa dipakai jadi alat yang diperlukan untuk mencegah kenaikan suhu melebihi dua derajat celcius.

“Namun, harus didekati dengan hati-hati, penelitian yang cermat, dan pemahaman yang jelas tentang potensi dampaknya,” tandas Rokke.


Wartawan : Gungsri Adisri

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar

Terpopuler