Green News
Perdagangan Satwa Liar Masuk Digital, Emang Boleh?
Rabu, 17 Januari 2024
Ilustrasi. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari mengingatkan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menekan perdagangan satwa liar di Sumatera Utara, karena trennya sudah masuk ke digital. (PEXELS/Sane Noor).
Denpasar. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (Orangutan Information Center/YOSL-OIC) mendesak pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk turut menekan perdagangan satwa liar di Sumatera Utara.
“Perlu kolaborasi (pemerintah dan pemangku kepentingan) karena tren perdagangan satwa liar sudah masuk ke ranah digital,” tutur Direktur Konservasi YOSL-OIC M Indra Kurnia di Medan, dikutip Antara, Selasa (17/1).
Kolaborasi yang dimaksud, ia mencontohkan antara Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi dan Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut untuk memblokir situs perdagangan satwa liar.
Pasalnya, Indra menegaskan upaya melestarikan satwa liar bukan hanya tugas pemerintah saja. Tetapi juga, masyarakat pada umumnya.
“Dengan cara, tidak memelihara satwa liar karena itu sudah menjadi mata rantai perdagangan perburuan dan perlindungan satwa,” imbuhnya.
Selain itu, diperlukan juga laporan dari masyarakat kepada penegak hukum apabila menemukan warga yang memelihara hewan yang seharusnya hidup di hutan. “Untuk itu, masyarakat harus melapor ke polisi, dinas terkait, atau organisasi yang fokus ke satwa liar,” terang Indra.
Adapun, kerugian negara dari perdagangan satwa liar diperkirakan mencapai Rp 137,78 miliar, dengan rincian antara lain gajah, harimau, orang utan, trenggiling, termasuk rangkok. “Itu dari rilis resmi KLHK dan temuan kasus-kasus barang bukti satwa liar,” tandasnya.
Wartawan : Gungsri Adisri
Komentar