Green News
Nikel Indonesia Dianggap Kurang Hijau, Ini Upaya Bappenas dan WRI
Emisi nikel Indonesia lebih tinggi dari nikel dunia
Kamis, 04 April 2024
Kick Off Penyusunan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel/dok. Bappenas-WRI
Indonesia punya pekerjaan berat agar penjualan nikel laris manis di pasar global. Alasannya, nikel asal Indonesia dianggap "kurang hijau" karena memiliki emisi (gas buang) tinggi mencapai 58,6 ton karbon dioksida per ton nikel.
Sebagai perbandingan, rata-rata emisi nikel global sebanyak 48 ton karbon dioksida. Atas dasar itulah, pemerintah melalui Bappenas menggandeng WRI Indonesia untuk menyusun Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel.
“Rata-rata (emisi) global 10 ton lebih rendah. Jadi ini bisa menurunkan daya saing produk nikel kita karena di semua sektor produksi dan industri sangat melihat jejak karbon dari setiap produk yang diperdagangkan,” kata Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Bappenas, Nizhar Marizi di acara Kick Off Penyusunan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel, Jakarta, Rabu (3/4).
Peta jalan ini nantinya akan masuk ke Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Peta jalan dekarbonisasi nikel ditargetkan rampung pada September 2024.
"Pelaksanaan hilirisasi nikel disertai dekarbonisasi menjadi krusial karena tidak hanya mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar global yang semakin hijau," ujar Direktur Program Iklim, Energi, Kota, dan Laut WRI Indonesia Almo Pradana.
Indonesia menyandang status negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Menurut laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), cadangan nikel di Indonesia diprediksi sekitar 55 juta metrik ton pada 2023 atau 42,3% dari total cadangan nikel dunia.
Nikel dianggap sebagai mineral penting untuk melakukan transisi energi ke energi bersih. Isu perubahan iklim menjadi alasan penggunaan nikel terus meningkat.
Wartawan : Dessy Rosalina
Penulis : Dessy Rosalina
Komentar