logo loading

Green Lifestyle

Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Orang-orang Afantasia

Peneliti menyebut afantasia bukan kecacatan mental, namun berkaitan dengan kondisi autisme.

 Kamis, 04 April 2024

Ilustrasi. Peneliti menyebut afantasia bukan kecacatan mental, namun berkaitan dengan kondisi autisme. (PEXELS/Turgay Koca).


Mataram. Tidak semua orang memiliki visi imajiner atau fantasi dalam benaknya saat memejamkan mata. Profesor Adam Zeman, Peneliti dari Universitas Exeter menemukan bahwa beberapa orang mengalami afantasia yang mengakibatkan ketidakmampuannya memproyeksikan bayangan imajiner mengenai sesuatu.

“Penciptaan istilah ‘afantasia’ secara tak terduga telah membuka jendela pada aspek pengalaman manusia yang terabaikan. Sangat menggembirakan bahwa orang-orang yang kurang memiliki gambaran telah merasakan istilah ini bermanfaat. Sementara banyak penelitian yang menjelaskan implikasi dari aphantasia,” tutur Zeman, dalam publikasi Trends in Cognitive Science dilansir earth.com, Selasa (2/4).

Afantasia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sekitar satu persen populasi, ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk memvisualisasikan gambaran mental.

Menurut Zeman, orang dengan afantasia mungkin kesulitan dengan memori otobiografi dan pengenalan wajah. Tetapi, tidak semua orang dengan kondisi tersebut mengalami masalah ini.

Zeman mengungkap afantasia mungkin berkaitan dengan kondisi autisme, perbedaan fisiologis maupun saraf pada penderitanya. Kondisi ini dapat diturunkan dalam keluarga, sehingga menunjukkan komponen genetik yang potensial.

Terlepas dari tantangan yang dihadapi oleh penderita afantasia, Zeman menekankan kondisi ini bukanlah kecacatan maupun kelainan mental. Melainkan bentuk keragaman dari pengalaman manusia.

"Meskipun ada perbedaan besar dalam pengalaman subjektif antara aphantasia dan hyperphantasia, efeknya pada fungsi sehari-hari tidak terlalu kentara. (Akibat) kurangnya gambaran tidak berarti kurangnya imajinasi,” kata Professor Zeman.

Salah satu penderita afantasia, Mary Wathen, menjabarkan pengalamannya sebagai seseorang dengan kondisi berbeda tersebut.

“Saya seorang komunikator lisan dan tulisan yang sangat baik. Saya pikir karena saya tidak terlalu tertarik dengan gambar apa pun, jadi saya hanya fokus pada kekuatan kata tersebut. Saya juga orang yang sangat emosional dan mungkin itu cara otak memberikan kompensasi yang berlebihan; Saya merasakan sesuatu sebagai cara untuk mengalaminya, bukan melihatnya,” tukas Mary.


Wartawan : Fathia Nurul Haq

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar

Terpopuler