Green Opinion
Mengejar Laju Kendaraan Listrik Agar Benar-benar Ramah Lingkungan
Senin, 26 Februari 2024
Pertumbuhan penjualan kendaraan listrik di Indonesia timpang jika dibandingkan dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Foto: Pexels/Kindel Media
Kendaraan listrik semakin mendapatkan tempat di hati konsumen Indonesia. Momentum itu mestinya tidak hanya terfokus pada dorongan bagi industri kendaraan listrik saja melainkan juga pemenuhan sumber setrum yang benar-benar ramah lingkungan.
Kemarin Sabtu (24/2), salah satu pameran otomotif nasional yakni Indonesia International Motor Show (IIMS) 2024 resmi ditutup meskipun acara masih berlangsung hingga sehari setelahnya. Mengintip informasi dalam situs resmi IIMS, tercatat lebih dari 460.000 pengunjung dan 15.000 tiket terjual selama 11 hari penyelenggaraan. Sementara nilai transaksi mencapai Rp 5,3 triliun.
Nilai transaksi yang sama dengan IIMS 2023 itu, menunjukkan situasi pasar otomotif dalam negeri yang relatif stabil. Rapor IIMS 2024 juga sejalan dengan target perkiraan pemerintah atas volume penjualan mobil tahun ini yang tidak berbeda jauh dengan realisasi 2023 yaitu 1,1 juta unit.
Namun di tengah moderatnya proyeksi pasar mobil dalam negeri, kendaraan listrik tetap mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Ketika membuka IIMS 2024 saja, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan menyatakan bahwa masa depan otomotif ada di mobil listrik karena Indonesia memiliki bahan baku nikel dan pendukung lain.
Demi mendukung ekosistem kendaraan listri di Tanah Air, pemerintah misalnya memangkas pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% menjadi 1%. Dukungan pemerintah lain melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 yakni insentif pajak bagi pabrikan mobil listrik luar negeri agar membangun industri di Indonesia.
Dorongan terhadap industri kendaraan listrik adalah bagian dari ikhtiar pemerintah untuk memenuhi target pengurangan gas rumah kaca (GRK) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) pasca Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris. Dalam dokumen NDC Indonesia tahun 2022, target pengurangan emisi pada tahun 2030 sebesar 31,89% dengan target dukungan internasional sebesar 43,20%.
Hasrat pemerintah untuk mendorong industri kendaraan listrik dalam negeri, sejauh ini sejalan dengan respon pasar. Sayangnya, realisasi di lapangan masih jauh dari target strategis Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca dan emisi karbon.
Pertama, mayoritas penjualan kendaraan listrik di Indonesia berupa kendaraan listrik hibrida (HEV). Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan kendaraan listrik tahun lalu terdiri dari 54.179 unit HEV, 17.051 unit kendaraan listrik baterai (BEV) dan 128 unit kendaraan listrik hibrida plug-in (PHEV).
Berdasarkan penghitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mobil HEV menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) terbesar dibandingkan dengan dua jenis kendaraan listrik lain yaitu 70-80 gram/km. Emisi CO2 PHEV mencapai 45-50 gram/km sedangkan BEV sebesar 0-5 gram/km.
Kedua, pertumbuhan penjualan kendaraan listrik timpang jika dibandingkan dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Dalam sebuah diskusi dengan media, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyatakan penjualan kendaraan listrik tahun lalu mencapai 17.000 unit sedangkan tahun 2022 sebanyak 10.000 unit.
Kalau dikonfirmasikan dengan data Gaikindo, tampaknya kendaraan listrik yang dimaksud oleh Kukuh mengacu pada BEV. Melanjutkan pernyataannya, itu berarti kalkulasi pertumbuhan penjualan kendaraan listrik khusus baterai saja pada 2023 mencapai 70% year on year (yoy).
Sementara Kementerian ESDM mencatat penambahan kapasitas pembangkit EBT tahun lalu yang sebesar 539,52 megawatt (MW) menggenapi total kapasitas terpasang menjadi 13.155 MW. Adapun pada 2024, target total kapasitas terpasang pembangkit EBT sebesar 13.886 MW.
Mengacu pada data Kementerian ESDM tersebut, artinya realisasi pertumbuhan penambahan pembangkit EBT tahun 2023 sekitar 4,28% yoy. Kalau persentase target pertumbuhan dari penambahan kapasitas pembangkit EBT 2024 sebesar 5,56% yoy.
Angka pertumbuhan penambahan kapasitas pembangkit EBT itu, berarti jauh di bawah kecepatan penjualan kendaraan listrik tadi. Sementara terlepas dari hitungan emisi CO2 yang dihasilkan tiga jenis kendaraan listrik, sejauh ini mayoritas sumber setrum di Indonesia masih berasal dari pembangkit listrik fosil.
Melihat data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi tahun 2023 meliputi batu bara (40,46%), minyak bumi (30,18%), gas bumi (16,28%) dan EBT (13,09%). Selain porsi terkecil, realisasi bauran EBT tahun lalu di bawah target yang telah ditetapkan sebelumnya sebesar 17,87%.
Melibatkan koperasi
Dalam sebuah siaran pers bulan lalu, pemerintah berkelit bahwa tidak tercapainya bauran EBT 2023 karena peningkatan harga minyak mentah, gas alam dan batu bara menyebabkan subsidi energi membesar. Selain itu, ada dua faktor penghambat lain yakni kendala teknis dan pembiayaan pembangunan listrik EBT.
Boleh jadi, kendala tersebut muncul karena preferensi utama pemerintah selama ini dalam mengembangkan pembangkit listrik hanya tertuju pada PT PLN (Persero) dan independent power producer (IPP) yang notabene adalah perusahaan-perusahaan besar. Dari kaca mata bisnis, studi kelayakan dan prospek jangka panjang tentu menjadi pertimbangan sebelum IPP mau mengembangkan pembangkit listrik.
Padahal selain perusahaan besar, ada peluang yang belum diseriusi oleh pemerintah yakni pelibatan koperasi atau komunitas masyarakat. Konsep pemenuhan energi mandiri oleh koperasi sudah lazim dilakukan di luar negeri.
Kita ambil contoh Amerika Serikat (AS). Pengembangan koperasi listrik di negara tersebut bahkan sudah ada sejak tahun 1935 setelah Presiden Franklin D. Roosevelt menetapkan Rural Electrification Administration (REA).
Sementara seiring dengan preferensi global terhadap energi hijau, paling tidak dua dekade belakangan koperasi energi terbarukan kemudian semakin banyak bermunculan di sejumlah negara. Beberapa di antaranya seperti Ecopower di Belgia, Energy4All di Inggris, TREC di Kanada dan Som Energia di Spanyol.
Kantor Nasional Koperasi Energi Jerman mencatat perkembangan signifikan mengenai pertumbuhan koperasi energi terbarukan dari awalnya delapan koperasi pada tahun 2006 menjadi 194 koperasi dengan 220.000 anggota pada tahun 2021. Mayoritas atau 95% anggota koperasi adalah perorangan, 4% perusahaan dan bank serta 1% petani.
Hingga tiga tahun lalu, sebanyak € 3,3 miliar telah diivestasikan di pembangkit listrik EBT berkapasitas 8 terawatt-hour (TWh) milik anggota koperasi. Kapasitas itu setara dengan 3,5% total kapasitas pembangkit listrik terbarukan di Jerman. Belum lagi potensi 3 juta ton emisi CO2 yang dapat dicegah sepanjang tahun 2021.
Kalau di Indonesia, pada tahun 2018 sebenarnya sudah hadir koperasi energi terbarukan pertama yakni Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo). Hanya saja, kemunculannya tampak tidak serta-merta menggeret animo nasional.
Andai saja pemerintah mau membuka banyak kesempatan, koperasi atau komunitas masyarakat nirlaba paling tidak berpeluang menjawab dua kendala pengembangan listrik EBT dari sisi teknis maupun pembiayaan. Lantaran basis utamanya adalah kebutuhan masyarakat setempat, hitungan balik modal dan cuan nyaris menjadi prioritas kesekian di proyek energi terbarukan koperasi.
Selain berbasis kebutuhan, pengembangan proyek setrum EBT di sebuah komunitas juga mengutamakan potensi sumber energi setempat. Dengan begitu, realisasi pengembangan proyeknya lebih masuk akal.
Sementara pendanaan dari anggota koperasi energi terbarukan bisa menjawab kendala pembiayaan. Kalau pun tetap memerlukan tambahan dana pihak ketiga, mestinya pemerintah bisa menawarkan alternatif pembiayaan karena toh tujuan akhir koperasi itu sejalan dengan pemenuhan bauran EBT nasional.
Nah, kini pendulum ada di tangan pemerintah untuk memanfaatkan momentum. Jangan sampai, demam kendaraan listrik tak lebih hanya seperti perubahan tren mode mobil semata tetapi sumber energinya masih sama dari fosil juga.
Anastasia Lilin
Chief Content & News Officer Media Hijau
Komentar