logo loading

Green Lifestyle

Duh, Alpukat Terancam Krisis Iklim

Produksi alpukat diperkirakan turun hingga 41% pada 2050.

 Minggu, 19 Mei 2024

Produksi buah alpukat terancam turun 41% pada 2050 karena krisis iklim dan cuaca ekstrem yang memburuk. (PEXELS/Suraphat Nuea-on).


Mataram. Alpukat telah mereguk popularitasnya sebagai salah satu sumber nutrisi superfood, terutama di kalangan milenial. Namun, buah yang populer ini ternyata menghadapi ancaman serius akibat krisis iklim yang memburuk.

Penelitian terbaru yang dirilis oleh Christian Aid dalam laporan berjudul Getting Smashed: The climate danger facing avocados memprediksi penurunan produksi alpukat yang signifikan di wilayah utama penghasil alpukat dunia, dengan proyeksi pengurangan hingga 41% pada 2050.

Alpukat mungkin merupakan makanan super, tetapi kryptonite-nya adalah penyebab perubahan iklim. "Mereka adalah tanaman yang haus dan tidak cocok hidup di planet yang lebih panas dan rawan kekeringan,” ungkap Mariana Paoli, Pemimpin Advokasi Global di Christian Aid, dilansir dari Earth.com, Selasa (14/5).

Alpukat membutuhkan banyak air untuk tumbuh. Hal ini membuatnya rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan cuaca semakin panas dan kering. “Tetapi karena perubahan iklim, cuaca sekarang menjadi lebih ekstrem dan hal ini mempengaruhi produktivitas kami."

"Kini, kami harus mengeluarkan banyak uang untuk mengairi tanaman, sehingga berdampak pada pendapatan kami dan mengancam penghidupan kami," terang Ketua Farmer’s Pride di Burundi Jolis Bigirimana secara terpisah.

Penurunan produksi alpukat ini tidak hanya mempengaruhi penggemar guacamole dan roti alpukat, tetapi juga memiliki dampak global yang signifikan. Alpukat yang kaya nutrisi dan lemak sehat adalah bagian penting dari diet di seluruh dunia dan memiliki manfaat kesehatan potensial, termasuk melawan penyakit seperti kanker.

Laporan dari Christian Aid mengungkapkan wilayah seperti Michoacán di Meksiko dapat mengalami penurunan kapasitas produksi hingga 59% pada 2050. “Kita mengalami suhu panas, hujan deras, dan erosi yang berdampak buruk pada produktivitas dan pendapatan petani. Hujan di Burundi hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat dan pada periode tersebut para petani alpukat biasa menyirami tanaman mereka,” kata Bigirimana.

Bigirimana menyoroti perlunya tindakan untuk mendukung petani dan mengurangi emisi. Negara-negara kaya didesak untuk beralih ke energi bersih untuk membantu mengatasi efek buruk ini. Petani alpukat, seperti di Burundi, sudah merasakan dampak buruk dari perubahan iklim dengan produktivitas yang menurun dan biaya yang meningkat.

“Kita perlu melihat negara-negara yang lebih kaya dan berpolusi untuk mengurangi emisi karbon mereka yang menyebabkan cuaca ekstrem ini dan juga menyediakan pendanaan iklim untuk membantu kita beradaptasi terhadap perubahan iklim," tegas Bigirimana.


Wartawan : Fathia Nurul Haq

Penulis : Gungsri Adisri

Komentar

Terpopuler